Pesantren merupakan lembaga tertua yang menampung segala ilmu, yang identik dengan ilmu yang sifatnya religions. Bahkan ketika melihat sistem pembelajaran yang di terapkan di berbagai lembaga tersebut, cukup baik bagi kalangan santri ataupun bagi masyarakat yang mempunyai keinginan mengetahui terhadap suatu ilmu. Sehingga dapat menghasilkan, santri yang berkualitas, baik dari segi baca kitab, bahkan bisa memahami secara mendetail. Kemudian ketika sampai di masyarakat ditanyakan masalah apapun yang ada relevansinya dengan Agama mereka siap untuk menjawabnya.
Walaupun demikian masih banyak kelebihan-kelebihan yang tampak. Namun akibat dari arus mode yang masuk ke dalam Pesantren sehingga dapat menenggelamkan, menafikan budaya-budaya yang relevansi dengan Agama, bahkan nilai –nilai dari Pesantren itu yang dulunya menjadi perhatian masyarakat, sekarang malah sebaliknya, karena hal tersebut,
Interpretasi penulis tentang keadaan Pesantren saat ini,yang bersamaan dengan laju era globalisasi. Maka memahami santri, dikalangan Pesantren, kurang punya minat terhadap mempelajari kitab kuning (klasik). Bahkan dijadikan musuh, yang mana sebelumnya menjadi bahan kajian dan sangat dihormati, kenapa hal demikian harus terjadi? Karena disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadi penghambatnya dari segi lingkungan yang sangat berpengaruh. dan hal itu yang akan membentuk baik buruknya karakter seseorang dan juga untuk mencari antisipasinya sangat sulit karena sudah lingkungan yang menguasai sebuah kelompok.
Maka dari itu, solusinya adalah harus tumbuh momentum yang baik dengan berdasarkan pada musyawarah di dalam kelompok tersebut.yang bisa memberantas budaya ngobrol yang sudah mewabah dan juga tanpa adanya tatanan sosial yang akan mengubah keadaan yang sudah kurang inten pada saat ini mengenai masalah kitab kuning dikalangan pondok Pesantren, menjadi bahan sorotan bagi para penulis-penulis muda dan di cetak di berbagai media, data penulis yang telah didapatkan, pada saat Bahsul Masail di pondok Pesantren al-Amin Prenduan, sehingga sempat terungkap kemampuan di bidang baca kitab kuning antara produk Kiai salaf dengan Kiai modern.
Anehnya walaupun mereka salaf dalam mendalami kitab serta berbicara tidak tersendat-sendat. Sedangkan santri khalaf sendiri hanya bisa menjadi penonton, tidak menjawab pertanyaan yang telah tersedia yang sudah lama dalam persiapannya karena di sebabkan mereka masih minim dalam baca kitab.
Jadi tidak salah kalau pengarang kitab Ianatuttalibin mengatakan bahwa “setiap kebaikan adalah mengikuti ulama terdahulu dan setiap keburukan bersumber dari ulama khalaf {Ianatuttalibin juz 2, hlm. 245}dapat dipahami dari kata-kata di atas, lebih diprioritaskan ilmu Agama dari pada ilmu yang lain. Serta hasil dari itu, akan selalu mengarah ataupun punya orientasi pada kebaikan. Sehingga para santri berjalan di atas roda kehidupan yang bermanfaat bagi para santri dan semakin mengglobalnya era. Maka akan mengkibatkan bagi para pelajar akan merosotnya ilmu pengetahuan.
Akan tetapi kalau pengetahuan teknologi tetap maju. Kemudian dampak negatif dari itu yang pada awalnya musyawarah, kajian kitab atau ilmu Agama menjadi tradisi Pesantren malah sekarang hilang lenyap begitu saja. Sehingga arah dan tujuan santri sekarang dengan santri dulu jauh berbeda.
Lagi pula faktor mengenai merosotnya Agama dikalangan santri modern di sebabkan karena dari terlalu banyaknya aktifitas kesehariannya seperti kegiatan ilmiah, bahkan hal itu bagi para santri yang menjadi pekerjaan utama yang di prioritaskan dari pada kepentingan yang bernuansa Agama. Sehingga dari kesibukan mereka setiap hari, terkadang shalat yang lima waktu pun jadi korbannya.
Dan ini konsekwensi yang harus terjadi yang tidak boleh ditutup-tutupi sebagai bahan telaah kepada kita yang berpendidikan. Karena orang yang kreatif bukan seperti itu, tapi bagaimana memecahkan hal yang demikian serta memberikan solusi yamg baik apa lagi sebagai santri yang sudah di cekoki dengan berbagi ilmu {khususnya di Pesantren modern} yan mana kalau di pandang secara sepintas akan mampu untuk menyelesaikannya.
Namun kenyataannya tidak, sebab mereka tidak mempunyai dasar sebagai rujukan untuk bisa menyelesaiknnya. Tentunya dasar itu diperoleh dengan membaca, menelaah kitb klasik dan juga al-Qur’an dan Hadist sebagai tongkatnya umat Islam secara umum.
Realita lain yang sangat memprihatinkan dari pada membaca kitab adalah banyak para santri dalam membaca al-Quran secara benar tidak tahu. Ini hal sepele tapi menjadi sorotan bagi masyarakat, bahkan karena hal itu santri menjadi tersingkirkan dari kelompoknya sendiri dan juga akan berpengaruh kepada ibadah-ibadah yang lain seperti shalat. Bagaimana bisa shalat yang baik kalau baca al-fatihah saja sudah banyak yang salah.
Kefasihan dalam baca al-Qur’an juga menjadi syarat bagi seseorang untuk menjadi imam shalat. Karena santri sebagai prospek bagi masyarakat setempat khususnya dan umat Islam umumnya. Yang akan dijadikan sandaran baik dari aspek kepemimpinan serta bisa mengarahkan kepada hal yang benar menurut Agama. Maka dari itu selayaknya ini menjadi sorotan bagi para Kiai secara umum.
Untuk mengantisipasinya karena beliaulah yang diberi tanggung jawab berat oleh masyarakat, sebagai perantara kesuksesan seorang santri. Tapi bagaimana bisa kalau Kiai-nya sendiri yang mempunyai banyak kepentingan yang lain, sebab fakta yang ada, banyak para Kiai yang terjun dalam perpolitikan serta banyak kesibukan yang lain. Sementara seorang alim punya kewajiban untuk menyampaikan ilmunya pada yang lain.
Salah satu contoh Pesantren » yang masih kental dengan ilmu Agama-nya adalah Pesantren Sidogiri. Bahkan bisa menjawab masalah-masalah yang masih belum jelas status hukumnya. Dan hasil dari itu semua dikumpulkan dan dijadikan Majalah. Itupun bukan hanya seorang saja akan tetapi santri Sidogiri rata-rata alim dalam membaca kitab.
Oleh: Yondriani Akbar (santri PP. Annuqayah Lubangsa Selatan)
Kitab Kuning Di Tengah-Tengah Pesantren Modern