TAK jarang kita melihat seorang perempuan menyelipkan ponsel di jilbab yang ia kenakan, kemudian ia sambil lalu melakukan aktivitas lain seperti memasak, naik motor, mengiris sayur, dan lain-lain. Fenomena itu telah menjadi sketsa ilustratif yang juga mewarnai perempuan Madura, yang konon dikenal sebagai sosok perempuan beretika, religius dan selalu estetis merangkai gerak-gerik yang dilandasi tata krama di setiap berinteraksi dengan lingkungannya.
Tak heran bila ada statemen yang mengatakan bahwa perempuan adalah harga diri suaminya. Menurut budayawan Madura Syaf Anton WR, karena tingginya kedudukan perempuan Madura, maka perempuan Madura khususnya para gadis dikonotasikan dengan perlambangan bunga melati.
Maka sangat tepat falsafah melati menjadi pujian bagi orang-orang tua Madura dengan ucapan ”duh tangmalate”, ta’ gegger polana ojen, ban ta’ elop polana panas are”, artinya; oh melatiku, yang tak gugur karena hujan dan tak layu karena panas matahari. Dirinya adalah martabat yang paling berharga dan kosmos interaksi serta segala dinamikanya penuh dengan aturan arif, yang tak mudah diseberangi laki-laki begitu saja, sehingga konon jarang terjadi pemerkosaan, pelecehan dan tindak kriminal lain yang menimpa kaum perempuan di tanah garam ini.
Lantas apa salahnya bila perempuan menyelipkan ponsel di balik jilbabnya?
Pertanyaan ini sedikit rumit untuk dijawab mengingat dalam satu sisi memang ada sebagian perempuan yang melakukan itu, murni sebagai jalan alternatif saat mendesak atau ketika dirinya sedang sibuk, dan perbincangannya memang seputar kepentingan yang wajar-wajar saja.
Tetapi di sisi lain kenyataan ini sudah jadi ”pemandangan keruh” yang memunculkan tengarai-tengarai negatif (negative thinking) apabila dilakukan oleh perempuan Madura yang notabene punya pranata norma serta doktrin agama yang holistik. Apalagi aktivitas menelepon di balik jilbab biasanya dilakukan dengan artikulasi perbincangan yang memakan durasi waktu yang cukup lama.
Hal ini sangat melumpuhkan aktivitas lain dan mendistorsi eksistensi kaum perempuan yang dalam substansi kultur Madura, yaitu perempuan sejatinya adalah kekuatan suplemen yang mem-back up aktivitas suaminya, walaupun tidak dengan tenaga, minimal dengan doa.
Contoh sederhana dapat kami temukan, bagaimana loyalitas dan rasa takzim pada suami yang dilakukan oleh perempuan zaman dulu yang menjadi istri nelayan, saat suaminya sedang melaut. Di rumah malam-malam, ia bermunajat dan bertaqorrub kepada-Nya memohon keselamatan atas suaminya dan keesokan harinya mempersiapkan nasi atau makanan kesukaan suaminya yang akan dihaturkan setelah kembali dari laut.
Ditilik dari sudut pandang kultural fenomena saat menelepon di balik jilbab, akan sedikit mereposisi kaum perempuan pada wilayah yang kelam, dalam artian perbuatan semacam itu, seakan satu gerakan resistensi terhadap realitas kepemimpinan lelaki yang semestinya sebagai komando keluarga dengan seperangkat aturan yang di antaranya adalah membatasi interaksi istri dalam penggunaan ponsel.
Malah secara tersembunyi didemonstrasi dengan cara menelepon di balik jilbab. Sepintas betapa dapat disimpulkan bahwa apabila perempuan menelepon dengan cara seperti itu, berarti telah menikmati sebuah kebebasan untuk berkomunikasi mengenai topik apa pun dengan lawan bicara yang sejenis maupun lain jenis. Setelah bebas berbicara dalam durasi yang lama, maka pembicaraan biasanya akan ngalor-ngidul ke hal-hal yang semestinya tak etis dibicarakan.
Dari hal ini muncullah –di antaranya- sexphone yaitu; fantasi seks dengan kata-kata mesra di telepon, atau minimal kata-kata usil yang mengarah pada hal-hal negatif, hingga akhirnya menjadi pintu timbulnya perbuatan zina. Itu dari aspek sosio-kultural. Sementara dari sisi medis, penggunaan ponsel dalam waktu lama sudah jelas sangat berbahaya.
Dikutip dari DN Aindia, berikut ini sejumlah dampak negatif yang bisa ditimbulkan akibat radiasi yang berlebihan dari ponsel :
- Penggunaan ponsel lebih dari 30 menit/hari selama 4 tahun bisa memicu hilang pendengaran (tuli). Radiasi ponsel yang terus-menerus bisa memicu tinnitus (telinga berdenging) dan kerusakan sel rambut yang merupakan sensor audio pada organ pendengaran.
- Akibat pemakaian ponsel yang berlebihan, frekuensi radio yang digunakan (900 MHz, 1800 MHz dan 2450 MHz) dapat meningkatkan temperatur di lapisan mata sehingga memicu kerusakan kornea.
- Emisi dan radiasi ponsel bisa menurunkan kekebalan tubuh karena mengurangi produksi melatonin. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat memengaruhi kesehatan tulang dan persendian serta memicu rematik.
- Risiko kanker di kelenjar air ludah meningkat akibat penggunaan ponsel secara berlebihan.
- Medan magnetik di sekitar ponsel yang menyala bisa memicu kerusakan sistem saraf yang berdampak pada gangguan tidur. Dalam jangka panjang kerusakan itu dapat mempercepat kepikunan.
Yang paling ironis dari perempuan yang menyelipkan ponsel di balik jilbabnya, tanpa disadari sebenarnya ia telah mendistorsi fungsi jilbab yang sebelumnya sangat sakral sebagai lambang kaum muslimah yang taat. Kini malah dijadikan media telepon-teleponan yang sama sekali jauh tak bermanfaat.
Di akhir tulisan ini saya mengimbau kepada para pengelola komunitas hijab di Madura agar tidak sekadar mempromokan style dan hal lain yang sifatnya sekadar fashionable. Tapi, lebih dari itu, sebisa mungkin untuk mengampanyekan fungsi otentik jilbab sebagai atribut kaum muslimah yang tak boleh terkena stigma buruk lantaran diselipi ponsel. Mari!
Oleh: Helmiyah (Aktivis Pergerakan Perempuan Sumenep)
Ketika Ponsel Diselipkan di Balik Jilbab