Bahaya narkoba sama hebatnya dengan Aids. Penularannya yang cepat dengan eskalasi korban yang terus meningkat akhir-akhir ini juga mulai menjangkau pelosok desa dan anak-anak. Bukan lagi kota dan kaum muda atau remaja yang menjadi mangsa narkoba. Fenomena ini semakin mengkhawatirkan setelah pabrik dan mafia narkoba terus bermunculan dengan budget besar melalui jaringan lintas negara yang dikelola secara canggih. Maka tidak mengherankan apabila seorang pesakitan kasus narkoba masih bisa menjalankan sirkulasi barang laknat tersebut di dalam penjara.
Penemuan sejumlah besar narkoba yang ditaksir seharga 30 miliyar di Tangerang bukanlah berita mengejutkan lagi. Masyarakat sudah mafhum bahwa produsen narkoba mengerti benar bahwa Indonesia merupakan lahan subur tumbuhnya transaksi narkoba karena selain jumlah konsumennya yang semakin banyak, juga disebabkan lemahnya restriksi hukum akibat keloyoan penegak hukum menjaring para brain player yang beberapa diantaranya adalah para pejabat ataupun penegak hukum itu sendiri.
Kisaran gelombang narkoba tentu akan menghantam Madura terlebih setelah beroperasinya Suramadu. Kabupaten Bangkalab paling barat yang bersentuhan langsung dengan jembatan Suramadu, sangat menyadari akan hal itu. Madura akan menjadi target prospektif invasi narkoba. Dua hal yang menjadi item penting adalah bahwa pemuda Madura akan menjadi target utama pemakai narkoba serta pentingnya langkah pencegahan sejak dini karena bagaimanapun juga Madura sangat membutuhkan peran para pemuda. Artinya jika pemuda Madura berhasil ditaklukan dalam gempuran narkoba, maka Madura akan menjadi kuburan bagi rakyatnya sendiri.
Kekhawatiran tersebut perlu disambut dengan serius, karena betapa pun Madura sangat kental dengan nilai reliji-kulturalnya, namun pengalaman riil menghadapi arus industri sangat minim kalau bukan tidak ada sama sekali.
Tumbuhnya industrialisasi di Madura akan melahirkan kejutan-kejutan berantai yang sangat membutuhkan tenaga ekstra dan waktu lama dalam mengadaptasikannya. Selama masa kejutan-kejutan tersebut, secara psikologis akan terjadi kegamangan yang merupakan celah pervasif masuknya unsur negatif.
Adanya kejutan budaya (cultural shock) misalnya, untuk beberapa saat bisa membuat masyarakat Madura melepaskan budaya dirinya sendiri, termasuk ajaran agama yang sejak kecil digelutinya. Di waktu shock orang berada diambang tidak sadar sehingga cendrung latah dan ikut-ikutan. Tingkat kesadarannya yang sebelumnya kokoh, pada saat itu, luruh, seperti orang yang tiba-tiba melemparkan minuman favoritnya lantaran terkejut melihat setan. Gelombang kejut ini akan semakin lama bertahan jika tidak segera disadari dan diantisipasi.
Yang paling mudah terinfeksi gelombang kejut ini adalah para pemuda yang secara psikologis tidak mantap dan berada dalam masa transisi. Gairah mereka yang mendidih dengan ingredient berupa karakter ambisius, senang coba-coba, nafsu imitatif, ekstrem dan short cut merupakan komposisi sempurna dari person yang mudah diformat oleh apapun yang ada dalam gelombang kejut tersebut.
Dalam rentang gelombang kejut, konstelasi industri akan bertumbuhan dengan ranum yang juga diikuti dengan mekarnya peredaran narkoba. Di daerah industri, narkoba seolah merupakan obat penanang dari rasa lelah dan pusing akibat job-job berat dan padat. Dengan narkoba, pebisnis bisa melupakan tumpukan kerja yang telah menindih punukmya seharian, pegawai bisa melupakan rasa lelah akibat menatap angka-angka di layar komputer. Intinya, narkoba adalah obat yang menyenangkan.
Pemuda tentu tidak harus mencari alasan logis seperti itu untuk memakai narkoba. Dengan keberadaan jiwa mereka yang labil dan senang mencoba-coba, tentu mereka akan mencoba narkoba sebagai barang baru. Hal itu akan ditiru oleh temannya yang lain akibat sebagai implikasi mental imitatitif.
Di saat itu mereka mungkin gelisah karena sadar bahwa agama dan budaya melarangnya, namun hal itu hanya sekilas karena mereka dalam keadaan gamang. Sekali mencoba narkoba, akan sulit melepaskannya lantaran narkoba mengandung bahan addiktif dosis tinggi yang terus menuntut penggunanya untuk mengkonsumsinya lagi.
Pemuda Madura yang mestinya menjadi welcomer kemajuan Madura adalah naif jika kemudian rusak dan merusak daerahnya sendiri hanya gara-gara akal, mental dan fisiknya rusak gara-gara narkoba. Saat sekarang kita mungkin merasa siap menghdapai gelombang tersebut. Kita sadar bahwa narkoba adalah barang jelek, namun hal itu akan berubah secara drasrtis jika kita berhadapan dengan efek industri secara langsung.
Untuk itulah, sebelum semuanya terlambat, segalannya harus dipersiapkan dan dimantapkan. Umara, ulama dan masyarakat harus bahu-membahu untuk menyambut kedatangan bah industri yang dalam waktu 20 tahun mampu mengganti pohon nyiur dengan pilar beton, menyulap bebukitan Madura yang gundul dengan deretan vila, merubah masyarakat kita yang peguyuban menjadi patembayan, menuntun pemuda kita yang alim menjadi lalim, lugu menjadi saru dan yang taat menjadi laknat.
Umara bertanggung jawab mengatur perda-perda populis, ulama bertanggung jawab membina moral-spritual sementara masyarakat bertanggung terhadap pakem kontrol-sosialnya. Jika ketiganya bisa kompak mulai sekarang, maka serangan narkoba kemungkinan besar dapat dihantam mundur.
Oleh: Abd. Basit Mansyur (Peminat kajian sosial budaya dan anggota senior jaringan Predator Study Club)
Mewaspadai Ancaman Narkoba di Madura